Ibnu Rawandi begitu kesengsem pada filsafat. Filsafat, sebagaimana diyakini sebagian orang, tak lain aktivitas mencari kebenaran tertinggi. Sayang, akal kemudian mencampakkan keberadaan wahyu Ilahi. Melibatkan wahyu dianggap tidak keren. Sebaliknya, mencukupkan pada akal belaka malah dipandang keren: tengah beraktivitas bak filosof. Di kelompok inilah Ibnu Rawandi melanjutkan kesengsemnya berfilsafat dengan memfanatiki kekuatan akalnya. Ia tidak canggung untuk mencela habis keyakinan yang pernah dijalaninya.
Kisah mengagumi hingga berujung menyegalakan filsafat ternyata dialami juga oleh Ibnu Zakaria al-Razi (865-925 M). Sebagaimana dituliskan A. Khudori Saleh, al-Razi juga menolak konsep kenabian dengan tiga alasan. Pertama, akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk. Kedua, semua orang terlahir dengan kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan. Maka, tidak ada alasan untuk mengistimewakan beberapa orang untuk membimbing yang lain. Ketiga, ajaran para nabi sendiri ternyata berbeda, padahal mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama.
Akal, sekali lagi, memperlihatkan kekuatannya hingga menembus keyakinan diri yang mantap bahwa kenabian adalah sia-sia. Sungguh “luar biasa” jalan pencapaian al-Razi sampai seperti itu. Menyimpulkan bahwa tidak boleh ada yang diistimewakan sebagai pembimbing yang lain, ditambah senantiasa ada perbedaan antar-nabi. Filsafat tampaknya telanjur merasuki al-Razi tanpa memikirkan konsekuensi apabila nabi “dibunuh” dari pikiran berarti ada keterputusan dengan wahyu. Wahyu kiranya yang hendak dimatikan, alih-alih meragukan kenabian. Sebab menegasikan kenabian sama artinya merobohkan sekaligus wahyu dan tatanan yang dibangun oleh sebuah dien—Islam dalam hal ini.
Kita cukupkan uraian soal dua filosof mbalelo di atas. Keyakinan dan keteguhan pada simpulan akal diri mereka sesungguhnya sejajar sebagai—dalam bahasa para pengkaji posmo—logos. Tidak hanya nilai, tapi juga isme dan dien itu sendiri. Ya, tentang ideologi, isme, ataupun dien akal. Tuhannya adalah akal, nabinya adalah sel syaraf-syaraf yang melingkupi kerja otak manusia. Kitab sucinya berupa penalaran lewat silogisme beraturan tertentu.
Keasyikan mencicipi filsafat boleh jadi lahirkan kesilapan sebagaimana dua nama tadi. Parameternya tentu dengan worldview Islam. Cara pandang yang tidak hanya tabu mempermasalah, malahan meletakkan wahyu sebagai titik sentral menganalisis. Pelajaran berarti dari kegigihan mereka berdua adalah kepedihan bahkan kenaifan. Sayangnya, justru mereka fanatiki tanpa membuka ruang untuk melihat dengan sudut yang tidak berpaku pada akal kebanggaan masing-masing.
Saya ingin meletakkan dua filosof di atas untuk menjelaskan tentang kekaguman berlebihan pada ide baru, atau ide yang jadi tren dan pasaran. Ide yang karenanya niscaya untuk diikuti lantaran sarat gengsi. Ide yang datang belakangan sebetulnya, tapi dianggap sebagai pembaruan dan terobosan sarat kebaikan. Adanya filsafat begitu memesona Ibnu Rawandi dan al-Razi. Akal yang jadi tema sentral seolah memuaskan dahaga pencarian batin keduanya.
Tema sentral bisa juga terkait gagasan radikalisme. Radikalisme menempatkan diri sebagai logos untuk menyingkirkan ide-ide lainnya yang lebih dulu ada. Ya, ketika makna, konsep kunci, cakupan hingga dataran praktis dimonopoli tafsirannya oleh kalangan pemegang kuasa. Di sini, kekuasaan dan pengetahuan (yang melibatkan para akademisi) bekerja erat. Mendefinisikan dan mengotak-kotakkan kenyataan yang ada di tengah masyarakat. Acuan dan rujukannya pada kerja pemikir bentukan negara ini. Sekurang-kurangnya menggunakan kerangka berpikir yang dipakai para akademisi yang bersekutu dengan kekuasaan mendefinisi radikalisme.
Untuk memuja teori dan konsep radikalisme, kepatutan adab yang dituntut agama bisa terlupakan. Karena kekaguman pada radikalisme, semua kalangan dipaksakan untuk masuk dalam kerangka berpikir yang dibanggakan. Maka, sebagaimana Ibnu Rawandi dan al-Razi yang sudah jatuh cinta pada akal, demikianlah yang terjadi pada mereka dengan kekasih bernama radikalisme. Menjadikan radikalisme sebagai narasi mendefinisikan orang lain, termasuk saudara sekeyakinan sendiri. Radikalisme sebagai ayat untuk menjelaskan yang lain (liyan) sesuai preposisi dan asumsi yang dipercayainya.
Soal benar atau tidak, sahih atau sesat, logis atau irasional, semua seperti tunduk pada kerangka bersusun yang dianggap ilmiah. Terlebih lagi ketika wacana didukung kekuatan negara sepenuhnya. Jadilah wacana semisal akal dan radikalisme kian kokoh dan menguat sebagai dogma. Meski awalnya diyakini sebagai kebaikan dan jalan menuju kebenaran sejati, dogma baru ini malah menghancurkan para pesaing yang ada. Tidak ingin ada suara berbeda selain kebenaran yang diyakini. Tidak mengherankan apabila pengerasan dan militansi pun hadir. Begitulah yang didapati pada kedua filosof tadi, berani meninggalkan komunitas lamanya dan balik menentang keras.
Radikalisme semua diyakini sebagai pemetaan untuk melihat kelompok (terutama) keagamaan yang memegang kuat doktrin. Tidak sebatas memegang doktrin yang sering dinilai tekstual (literer di mata para kritikusnya), berikutnya hadir kekerasan di ruang publik. Kekerasan lisan hingga tindakan nyata meneror. Pikiran untuk memetakan belakangan “gatal” untuk turut menstigma. Objektif dan jujur sudah berbaur dengan isi kepala dan motif bawah sadar yang senantiasa bergolak untuk direnung-pikirkan.
Sebagian peneliti dan/atau akademisi yang berbicara radikalisme pada subjek bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesa (KAMMI) tidak kurang mengidap penyakit serupa dua filosof tadi. Ada yang bertitel peneliti LIPI, lantang berteriak KAMMI sebagai kelompok radikal, tanpa menjelaskan lebih panjang detail maksud retorikanya. Publik kadung menangkap curiga terhadap statemennya. Tudingan berbalik penelitian mengabaikan kemungkinan premis yang disusun berganti peran sebagai bahan propaganda. Sebab, isi pikiran dan prasangka sudah tebal berkerak, tidak ingin disingkirkan oleh kenyataan sebenarnya. Logos untuk mengharuskan ciri-ciri yang diketahui secara dangkal sebagai ciri kelompok radikal, melupakan tanggung jawab sang peneliti untuk bertindak dingin ketika memverifikasi setiap informasi.
Namun yang terjadi, justru kenyataan di lapangan (yang tidak bersesuaian dengan premis untuk publik) malah gagal ditarik dalam kesimpulan tanpa dengki. Hanya dengan ciri-ciri mengajarkan ini dan itu, entitas yang dituju seperti KAMMI langsung dikotakkan sebagai ciri gerakan radikal. Signifikansi dan alat ukurnya tidak lagi penting karena sejak semula memang sudah meyakini keabsolutan pikirannya. Ya, bahwa KAMMI mencirikan kekuatan anak muda radikal.
Celakanya, lapisan konseptual sang peneliti ditelan mentah-mentah oleh seorang guru besar kampus negeri keislaman. Sang guru besar kembali mengulang wacana yang diyakininya absah bahwa mahasiswa kampus negeri umum mudah dicekoki doktrin dan radikalisme. Sang guru besar malah membanggakan anak didiknya yang kritis terhadap setiap pemikiran. Logos sang guru besar adalah mengunggulkan kekuatan mahasiswa kampus Islam, dan sebaliknya meremehkan kalangan mahasiswa kampus umum—utamanya dari fakultas sains.
Sang guru besar diam-diam dan tanpa disadari sudah melakukan kepongahan dengan meletakkan mahasiswanya superior di atas mahasiswa fakultas sains. Seolah kekuatan nalar mahasiswa sains hanya kuat secara instrumentalis belaka; hanya cocok jadi pesuruh dari para penalar. Menyia-nyiakan kepintaran untuk kemudian menerima setiap bujukan ajaran baru kendati itu sesat. Tidak jelas bagaimana mengukur hikmah dan kebijakan dari fakta yang ditemui sang guru besar.
Begitulah, ketika nilai dan prasangka sudah menguat lebih dulu—lebih-lebih dari sebuah pencarian panjang—maka akan mudah dipegang erat-erat. Diyakini sepenuh hati seolah kebenaran itu sendiri otomatis ada padanya. Yang dianutinya niscaya absolut, sementara di luarnya masih perlu koreksi hingga penganuliran. Bila untuk menghapuskan kecintaan pada ajaran Islam dan kenabian saja bisa diperbuat para pengagum akal, akan lebih mudah lagi melupakan peran sejarah kelompok perubahan semisal KAMMI oleh para pengkaji tema radikalisme. Radikalisme dengan sekian ciri dan indikatornya sudah jadi ayat mutlak untuk dipegang dan enggan diperdebatkan. Melampaui semua kemungkinan berbeda, termasuk pendapat dan gagasan milik dirinya dari kesilapan.
Akhirnya, penisbatan kalangan peneliti ataupun akademisi senior terhadap KAMMI tidak perlu direspons dengan panik. Kedewasaan aktivis KAMMI dalam umur 18 tahun perlu ditempa dengan penilaian, anggapan, hingga stereotip ala orang lain. Bisa jadi ngawur dan kacau logika sertai argumentasinya, tapi bagaimanapun juga itu pengaya khazanah. Dalam keterbatasan mereka ada ruang untuk mengoreksi dan menempatkan KAMMI sesuai lajur semestinya.
Komentar
Posting Komentar