Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2021

Imajinasi Kejayaan Gerakan Mahasiswa

Aspirasi  untuk menurunkan Susilo Bambang Yudhoyono dari kursi presiden bukan hanya lantang disuarakan para politisi, namun juga gerakan mahasiswa (GM). Memang masih dini untuk menyimpulkan bahwa aspirasi GM murni berasal dari keprihatinan mereka atau berasal dari titipan para politisi. Meski demikian, ada yang lebih penting ketimbang merunut apakah aspirasi GM murni atau tidak, yakni mengukur kekonsistenan GM dalam memperjuangkan aspirasinya itu. Kumulasi berbagai persoalan—terutama kinerja pemerintah dalam mengantisipasi dan menangani bencana alam akhir-akhir ini—mengakibatkan mudahnya masyarakat secara luas kecewa. Jadi, kekecewaan terhadap pemerintahan SBY selama dua periode bukan hanya monopoli politisi atau aktivis GM. Belum lagi sebagian masyarakat sering menolak ekspresi beroposisi terhadap pemerintah apabila hanya diwujudkan dalam gerakan-gerakan politik praktis, padahal saat yang sama jaminan perbaikan yang ditawarkan justru terlewatkan. Akibatnya, baik pemerintah ataupun pen

Jalan yang Bersimpang: Dua Kutub dari Rahim Ikhwan

Di tahun 1960an, ketika masa-masa petinggi Ikhwanul Muslimin dipenjara, terbit dua buku penting: " Du'at Laa Qudhat " dari Hassan Hudaiby dan "Ma'alim fith Thariq" dari Sayyid Qutb. Yang disebut kedua terbit lebih dulu. Masa-masa itu adalah masa yang berat bagi Ikhwan. Mereka dikhianati oleh orang yang justru mereka dorong untuk tampil sebagai pemimpin Mesir waktu itu, Gamal Abdel Nasser. Nasser adalah mantan anggota Nizham Khas, satuan paramiliter Ikhwan. Bersama Sadat dan beberapa perwira lain waktu itu, dan dengan dukungan penuh dari Ikhwan (yang baru saja kehilangan pemimpin besarnya Hassan Al-Banna), ia menggulingkan Raja Farouk dan mendeklarasikan pemerintahan baru. Setelah krisis politik era Naguib, Nasser tampil sebagai pemimpin baru. Ia mulai membangun front baru, mengeksklusi Ikhwan secara politik, dan akhirnya, setelah insiden percobaan pembunuhan oleh delapan aktivis Ikhwan di Al-Manshiya tahun 1954, Nasser memerintahkan penangkapan besar-besaran

Tradisi Kultural KAMMI

  Jika melihat rentang sejarah, kita akan mempelajari bahwa dinamika perubahan sosial merupakan interaksi dari empat elemen utama: manusia, ide, ruang dan waktu. Manusia adalah pusat dari perubahan karena ia adalah pelaku atau aktor dimana ruang dan waktu merupakan panggung pertunjukkannya. Ide menjadi penggerak manusia dalam seluruh ruang dan waktu. Setiap kali ada perubahan yang penting dalam ide-ide manusia, maka kita akan menyaksikan perubahan besar dalam masyarakat mengikutinya. Manusia bergerak dalam ruang dan waktu secara dialektis, antara tantangan dan respon terhadap tantangan tersebut. Ide atau gagasan yang memenuhi benak manusia merupakan manifestasi dari dinamika dialektis itu. Hidup manusia bergerak dan terus bertumbuh karena ia merespon tantangan di sekelilingnya. Hasil respon baru itu selanjutnya melahirkan tantangan-tantangan baru yang menuntut respon-respon baru. (lihat Anis Matta, 2014).   “Kekanglah luapan perasaan dengan pandangan akal dan terangilah kecemerlangan a

Mengagungkan Akal, Menuhankan Logos: Catatan untuk Penisbat Radikal pada KAMMI

Nama Yahya ibn Ishaq al-Rawandi (827-911  M) terbilang amat asing dalam kajian filsafat Islam. Menurut Ibrahim Madkur dalam   Fii al-Falsafah al-Islaamiyyah , yang dinukil oleh A. Khudori Saleh (2014), Ibnu Rawandi tergolong murid cerdas dalam majelis kaum Muktazilah. Sayang, Ibnu Rawandi di kemudian hari berbalik arah menyerang kelompok lamanya itu. Tidak hanya itu, ia pun meragukan bahkan menyerang ajaran Islam. Prinsip kenabian, baginya, bertentangan dengan akal sehat. Demikian pula syariat-syariat yang dibawa Islam, tidak masuk akal. Akal sudah memadai untuk menggapai kebenaran tanpa harus melibatkan agama, sebab toh ia anugerah dari sang Maha Pencipta. Ibnu Rawandi begitu kesengsem pada filsafat. Filsafat, sebagaimana diyakini sebagian orang, tak lain aktivitas mencari kebenaran tertinggi. Sayang, akal kemudian mencampakkan keberadaan wahyu Ilahi. Melibatkan wahyu dianggap tidak keren. Sebaliknya, mencukupkan pada akal belaka malah dipandang keren: tengah beraktivitas bak filosof.